Bismillahirrohmaanirrohiim
Beberapa hari lalu ayah saya yang kebetulan seorang Ketua RW dikagetkan oleh telepon jam 2 dinihari oleh salah satu Ketua RT-nya. Laporannya miris, seorang satpam di lingkungan kepalanya bocor karena dikepruk pakai batu. Dia sempat mengejar pelaku namun karena mukanya sudah ketutup oleh darah maka ia sudah tidak dapat melihat lagi dan menghentikan pengejaran.
Usut punya usut, dalam 1 hari tertangkap pelakunya. Yang mencengangkan, ternyata ia baru berusia 10 tahun. Subhanallah. Hanya beberapa tahun beda umurnya dengan anak saya, mungkin juga beda sedikit dengan anak anda semua.
Anak itu ternyata dilapori oleh kawan2nya, yang juga berumur sekitar 10an tahun yang marah karena diusir oleh satpam tersebut karena pacaran sampai larut malam di lapangan dekat pos satpam. Duh!
Entah mungkin di daerah tersebut anak itu dijago2kan, datanglah dia sendirian jam 2 dinihari, membawa batu, mengendap2, berniat, berencana, dan menunggu saat sang satpam lengah, lalu prakkk! Terjadilah cerita di atas.
Kenapa ini bisa terjadi???
Mengapa anak itu berani? Tega?
Mengapa anak seumur mereka sudah berani pacaran di tempat publik terbuka, sampai larut malam?
Kemana orangtuanya?
Kemana tetangganya?
Kemana para alim ulama?
Kemana pula diri kita??
Ternyata, kita harus jujur, bahwa kitalah yang awalnya telah membentuk pribadi mereka seperti itu.
Mereka kita bentak2, kita usir2 saat mereka di Masjid karena dianggap mengganggu. Duh!
Seharusnya landasan sikap kita adalah seperti adab pada sholat Jumat, janganlah kita melakukan perbuatan sia2 seperti berkata "ssstt".
Yang dilarang adalah kita, orang dewasa, yang sudah bisa memahami pesan Nabi SAW. Bahwa anak2 itu tetaplah anak2, mereka tidak bisa diikat dan disumpal mulutnya agar berhenti. Itu perbuatan sia2.
Itu karakter mereka.
Biarkan mereka nyaman bermain di Masjid. Karena minimal yang akan terekam dalam alam bawah sadar mereka adalah gambaran kita, yang dewasa, sedang sholat! Sehingga, gambaran tersebut bila sering terekam, maka akan mengkristal menjadi karakter mereka. Karakter anak yang cinta Masjid.
Pun jika terlalu berisik, nanti saat di rumah, kita bisa tanamkan nilai2 adab perilaku di Masjid kepada anak kita dengan nasihat yang amat lembut seperti dicontohkan Luqman al-Hakim dalam al-Qur'an. Jangan dihardik di muka umum. Itu akan membekas dalam jiwa mereka. Itu akan membuat mereka trauma datang ke Masjid.
Lalu, jika mereka tidak ke Masjid, maka jadilah mereka itu liar. Tergambarlah dalam angan mereka dunia luar yang buas, beringas, jauh dari nilai2 keagamaan. Dan itulah yang akan menjadi karakter mereka. Na'udzubillah min dzallik.
Wahai para orangtua, ramahlah terhadap anak2...ramahlah terhadap anak kita sendiri maupun anak2 yang lain. Mereka kelak akan besar. Jangan besarkan mereka di lingkungan buruk, lalu kita bertanya2 kenapa koq bisa buruk begitu ya.
Itu akibat kesalahan kita sendiri.
Contohlah Nabi Muhammad SAW, yang ketika Beliau meng-imami shahabat yang lain, ia tidak segera bangkit dari sujudnya karena cucunya sedang main sambil menaiki punggungnya. Ia tidak marah.
Perhatikan saat Beliau sedang ceramah Jumat lalu cucunya datang menghampiri Beliau, lalu Beliau turun sejenak untuk menggendong cucunya. Ia tidak marah.
Lalu jika kita marah. Tanya kembali, siapa Nabi kita?? Siapa panutan kita?? Apa itu sikap yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW??
Kalau kita tidak bisa khusyuk karena mereka, tanya kembali dimana kita letakkan hati kita saat sholat?? Karena para shahabat dahulu, saat mereka harus diamputasi, mereka minta dilakukan dalam keadaan mereka sedang sholat. Karena hanya pada saat itulah mereka tidak merasakan apa2. Itulah keadaan mereka yang hatinya sampai ke hadirat Allah saat sholat. Tidak terganggu, bahkan dalam kondisi fisik yang ekstrim.
Untuk itu, izinkanlah saya berpesan kepada diri saya sendiri:
Marilah, cintai mereka di rumah, cintai pula kehadiran mereka di Masjid.
Buatlah Masjid kita sebagai Masjid Cinta Anak.
Bentuk karakter generasi harapan bangsa sebagai karakter pecinta kebaikan, pecinta Masjid.
Agar tercipta kedamaian di muka bumi ini. InsyaAllah.
Jakarta, 15 Syawal 1436H
Al-Faqir ilallah, Abu Rayyan asy-Syadzali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar